Kelihatannya beberapa orang akan menilai ini sebagai sebuah dualisme ekstrim. Untuk sementara kita tidak diganggu dan bila ada yang menganggu kita bisa mengatakan bahwa "maaf saya sedang sibuk". Karena sibuk untuk Tuhan berarti melakukan sesuatu untuk Tuhan tetapi ia belum tentu berada dan punya waktu bersama Tuhan (sekalipun Ia Mahahadir), sedangkan sibuk dengan Tuhan berarti ada sebuah waktu dan kesempatan bagi kita untuk bersama dengan Dia. Mengedepankan budaya dengan kehilangan inti berita sama artinya membuang air mandi bayi dengan bayinya sekaligus.ĭi titik inilah kita diperhadapkan kepada dua keadaan: seperti Marta yang sibuk BAGI atau UNTUK Tuhan atau seperti Maria sibuk DENGAN Tuhan. Baginya budaya hanya alat untuk mencapai misi-Nya. Kehadiran-Nya di dunia memang berbudaya tetapi tidak berarti Ia terikat atau bahkan terbelenggu oleh budaya. Tetapi di sini Yesus sedang berbicara sesuatu yang lebih hakiki ketimbang sebuah etika penerimaan tamu. Etisnya memang Maria membantu Marta bukan duduk ngobrol. Sedang Maria hanya menemani Yesus untuk bicara. Marta sibuk melayani, tentunya bukan melayani diri sendiri atau melayani orang lain, tetapi melayani Yesus sebagai tamu istimewa mereka. Baik Marta maupun Maria sama-sama memiliki fokus kearah Kristus, dan kedua-duanya punya konsentrasi dan kesibukan yang sama-sama mengarah kepada Kristus, tetapi Yesus berkata: "Marta, Marta, engkau kuatir dan menyusahkan diri dengan banyak perkara, tetapi hanya satu yang perlu: Maria telah memilih bagian yang terbaik, yang tidak akan diambil dari padanya". Salah satu pelajaran yang sama-sama kita lihat adalah kata "kesibukan". “Tuhan adalah Gembalaku” di sini tidak berarti kita digiring oleh diri kita sendiri, persoalan kita, kekuatiran kita, kegembiraan kita, tetapi Allah yang menggiring kita.ĭari kisah kakak beradik ini dapat ditarik banyak pelajaran. Padahal disisi lain hal itu bisa saja terjadi karena ia tidak pernah menempatkan Allah sebagai Gembala.
Karena ketika ada orang yang merasa Tuhan adalah Gembalanya dan hidup habis-habisan, terikat persoalan keuangan, didera berbagai masalah, dan dengan naifnya ia mengatakan itu ujian dari Tuhan. Kita tidak akan sampai pada “takkan kekurangan aku” jika kita tidak menempatkan Allah sebagai Gembala. Fokus yang tidak seimbang pada soal pemenuhan kebutuhan (jasmani/rohani) akan membuat orang lupa akan bagian sebelumnya yang cukup menentukan yaitu: “TUHAN ADALAH GEMBALAKU.” Tak salah sebenarnya, bila kita membandingkan bagaimana seorang gembala domba tak pernah menelantarkan domba gembalaannya, dengan Allah yang sedang menganalogikan diri-Nya dengan Gembala dengan jaminan yang sama: “takkan kekurangan”. Penekanan yang berlebihan pada kata tersebut akan menjadikan nas ini lebih didorong ke arah bahwa Allah “akan selalu” mencukupi kebutuhan manusia (jasmani/rohani), dan adakalnya dikaitkan secara langsung melulu pada soal pemenuhan kebutuhan ekonomi belaka. Tidak sedikit kotbah atau tafsiran yang lebih menitikberatkan pada kata “takkan kekurangan”. Sebagai contoh: “Tuhan adalah Gembalaku takkan kekurangan aku” (Maz. Pernyataan tersebut kerap diambil dari ayat Alkitab dan diberi penekanan sepenuhnya yang membuat pengertian nas tersebut jadi dipaksakan. Pernyataan iman tersebut nyaris mirip menjadi sebuah yel-yel dari kuis televisi. Perdebatan melalui berbagai cara dan media hanya semakin memperkeruh Ada semacam mental ‘asal beda’ yang melatari pemberian tanggapan bukan atas dasar kejernihan analisis dan keobyektifan mengolah pikiran dan pendapat serta kebesaran hati menerima perbedaan dan kebenaran dari lawan bicaranya. Kecenderungan ini sebenarnya bukan barang baru dan sudah lama terjadi, namun belakangan ini dengan semakin ‘gampangnya’ orang bolak-balik Alkitab, memberi komentar terhadap ayat Alkitab, atau bahkan dalam memberi sanggahan terhadap sebuah kotbah atau pengajaran, maka hal itu jadi semakin menguat. Belakangan ini ada kecenderungan orang terlalu gegabah dalam membuat pernyataan iman.